Minggu, 20 Januari 2013

Penerapan Etika Bisnis dalam Lingkungan Global


Etika dalam Bisnis Internasional
Kita sekarang hidup dalam era globalisasi ekonomi, dimana kegiatan ekonomi telah mencakup ke setiap bagian di dunia, sehingga hampir semua Negara tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar ekonomis. Hal ini menimbulkan konsekuensi jika dipandang dari sudut moral, baik menimbulkan akibat positif maupun negative. Di satu pihak, globalisasi dapat meningkatkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara bangsa-bangsa dan dengan demikian melanjutkan tradisi perdagangan sejak dulu. Namun, segi negatifnya adalah globalisasi bisa saja berakhir dalam suasana konfrontasi dan permusuhan, karena mengakibatkan pertentangan ekonomi dan perang dagang, melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang dipertaruhkan disitu.

Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional
K Bertenz berpendapat bahwa pandangan yang menganggap norma –norma moral relative saja tidak bisa dipertahankan, namun norma-norma moral yang bersifat absolute juga tidak bisa diterapkan dengan mutlak. Lalu, apa yang harus dilakukan apabila di bidang bisnis norma-norma moral di Negara lain berbeda dengan norma-norma yang kita anut. Richard De George memberikan tiga jawaban untuk pertanyaan tersebut. Jawaban tersebut adalah :
1.    Menyesuaikan diri.
Dalam lingkup bisnis internasional, kita harus menyesuaiakan diri begitu saja dengan norma-norma etis yang berlaku di Negara lain dimana kita mempraktekkan bisnis. Pandangan dalam bidang moral, dipandang mengandung relativisme ekstrem. Jadi, menurut pandangan ini, norma-norma moral yang penting sebenarnya diberlakukan sama di seluruh dunia, norma-norma non-morallah yang bisa berbeda di berbagai tempat.
2.    Rigorisme Moral
Pandangan ini menekankan bahwa kita harus berpegang pada norma-norma etis yang berlaku di Negara kita sendiri, tidak peduli apakah norma tersebut berbeda dengan di Negara lain. Kebenaran yang dapat temukan dari pandangan ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita.
3.    Imoralisme Naif
Menurut pandangan Imoralisme naïf, Bisnis di Negara lain tidak perlu berpegangan pada norma-norma etis karena hal itu akan merugikan posisi kita dalam kompetisi dengan pihak bisnis lain. Karena apabila perusahaan terlalu memperhatikan etika, kita berada pada posisi yang merugikan, karena daya saing perusahaan akan terganggu.
Kasus  Bisnis dengan Afrika Selatan yang rasistis
Menurut K Bertenz, tiga jawaban yang diberikan oleh George harus ditolak karena tidak mungkin bisa bertahan. Jawaban “imoralisme naif’ harus kita tolak begitu saja. Sedangkan untuk “menyesuaikan diri” kita harus menghrgai  perhatian George untuk peranan institusi. Sedangkan untuk “rigorisme moral” dianggap Bertenz terlalu ekstrem dalam menolak pengaruh situasi, namun ada sedikit kebenaran yang tertuang, yaitu bahwa seharusnya kita tidak meninggalkan norma-norma moral di rumah apabila berangkat bisnis ke luar negeri.
Dalam etika, prinsip moral hampir tidak bisa diterapkan secara mutlak, karena situasi konkret seringkali sangat kompleks. Seringkali yang dilakukan adalah dengan cara mencari jalan tengah dari beberapa solusi ekstrem. Salah satu contoh adalah bisnis internasional dengan Afrika Selaran sampai Negara itu meninggalkan politiknya yang rasistis. Disini kita mencari jalan tengah dari dua pilihan ekstrim “menyesuaikan diri “ dengan “rigorisme moral”.
Afrika selatan mempunyai system politik yang didasarkan atas diskrimasi ras (apartheid) kulit hitam dengan kulit putih. Sistem politik ini didasarkan pada Undang-Undang Afrika Selatan sejak tahun 1948. Saat itu, banyak perusahaan yang menghadapi dilemma antara menhentikan hubungan bisnis dengan Afrika Selatan atau menyesuaikan diri dalam suatu keadaan yang tidak etis (diskriminasi ras).
Dalam mencari jalan keluar dari masalah ini, banyak perusahaan Barat brpegang pada prinsip-prinsip Sulivan, dimana perusahan-perusahaan tidak akan menerapkan undang-undang apartheid, karena dinijlai tidak adil, dan juga perusahaan akan berusaha agar undang-undang apartheid dihapus.

Masalah “Dumping” dalam Bisnis Internasional
Dumping adalah menjual produk dalam kuantitas besar di suatu Negara lain dengan harga di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Motif dibalik terjadinya transaksi dumping sangat banyak, antara lain adalah sebagai berikut :
·         Penjual mempunyai persediaan terlalu besar sehingga memutuskan untuk menjual produk yang bersangkutan di bawah harga saja
·         Produsen berusaha merebut monopoli dengan membanting harga
Dumping dianggap tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Kelompok bisnis yang ingin terjun ke dalam bisnis internasional, dengan sendirinya melibatkan diri untuk menghormati keutuhan system pasar bebas. Dumping sangat sulit untuk ditentukan dalam bisnis internasinal karena banyak alas an. Yang dibutuhkan tidak hanya kesadaran etis saja, tetapi juga suatu pengertian jelas yang diterima secara internasional dan suatu prosedur objektif yang menerapkannya. Kita membutuhkan suatu instansi supranasional yang sanggup bertindak dan sekaligus diakui sebagai wasit yang objektif. Namun untuk saat ini, instansi seperti tersebut diatas masih sulit untuk dibentuk. Dalam rangka Organisasi Perdagangan Perdagangan Dunia (WHO) telah dibuat sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai model untuk membuat peraturan hokum di Negara-negara anggotanya.

Aspek-Aspek etis dari Korporasi Multinasional
Korporasi multinasional adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua Negara atau lebih. Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dank arena beroperasi di berbagai tempat yang berbeda dan sebab itu mempunyai mobilitas tinggi, korporasi multinasional menimbulkan masalah-masalah etis sendiri. Hal-hal yang dilakuakn oleh Negara berkembang untuk melindungi diri dari cengkeraman korporasi multinasional antara lain adalah :
·         tidak mengizinkan masuk korporasi multinasional yang bisa merusak atau melemahkan suatu industry dalam negeri.
·         mengizinkan korporasi multinasinal membuka usaha di wilayahnya, jika dan hanya jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 51%) dimiliki oleh warga Negara setempat. 
Selain itu, terdapat pula usaha internasional yang dibentuk untuk membuat kode etik bagi kegiatan korporasi-korporasi multinasional dunia ketiga seperti “Guidelines for Multinational Enterprises” dari OECD.
Menurut George, ada sepuluh aturan etis yang terpenting bagi korporasi multinasional dalam hubungan bisnisnya dengan Negara berkembang. Aturan-aturan tersebut adalah :
1.      Korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung
2.      Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi Negara dimana mereka beroperasi
3.      Dengan kegiatannya, korporasi multinasional harus member kontribusi kepada pembangunan Negara dimana ia beroperasi
4.      Korporasi multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua karyawannya
5.      Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional harus menghormati kebudayaan local itu dan bekerja sama dengannya, bukan menentangnya
6.      Korporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair
7.      Korporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkan dan menegakkan “background institutions” yang tepat
8.      Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut
9.      Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang beresiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman
10.  Dalam mengalihkan teknologi beresiko tinggi kepada Negara berkembang, korporasi multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi sedemikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam Negara baru yang belum berpengalaman

Peranan Etika Dalam Bisnis
Menurut Richard De George, ada tiga hal yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai kesuksesan, yaitu produk yang berkualitas, manajemen yang mulus, dan etika. Guna memperoleh produk yang baik, si pebisnis dapat memanfaatkan seluruh perangkat ilmu dan teknologi modern. Guna mencapai manajemen yang mulus, si manajemen dapat memakai sepenuhnya ilmu ekonomi dan teori manajemen.  
Kode Etik Perusahaan
Manfaat dan kesulitan aneka macam kode etik perusahaan
Berikut ini adalah manfaat kode etik perusahaan :
·         Kode etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah dijadikan sebagai corporate culture.
·         Kode etik dapat membantu dalam menghilangkan grey area atau kawasan kelabu di bidang etika.
·         Kode etik dapat menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab sosialnya.
·         Kode etik menyediakan bagi perusahan—dan dunia bisnis pada umumnya—kemungkinan untuk mengatur dirinya sendiri sehingga Negara tidak perlu campur tangan, kecuali dalam hal dunia bisnis tidak berhasil mengatur dirinya sendiri dan menciptakan kerangka moral untuk perilaku yang benar.
Berikut ini adalah kritik yang ditujukan kepada kode etik perusahaan :
·         Kode etik perusahaan seringkali merupakan formalitas belaka untuk membuat pihak luar kagum dengan perusahaan.
·         Banyak kode etik perusahaan dirumuskan dengan terlalu umum, sehingga tidak menunjukkan jalan keluar bagi masalah konkret yang dihadapi oleh perusahaan.
·         jarang sekali tersedia enforcement untuk kode etik perusahaan (jarang ada sanksi untuk pelanggaran kode etik)
Berikut ini adalah factor-faktor yang perlu diperhatikan untuk menjamin kefektifan kode etik :
·         Kode etik sebaiknya dirumuskan berdasarkan masukan dari semua karyawan, sehingga mencerminkan kesepakatan semua pihak yang terikat olehnya.
·         Harus dipertimbangkan dengan teliti bidang-bidang apa dan topic-topik mana yang sebaiknya tercakup oleh kode etik perusahaan.
·         Kode etik perusahaan sewaktu-waktu harus direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan intern maupun ekstern.
·         Kode etik perusahaan harus ditegakkan secara konsekuen dengan menerapkan sanksi, yang harus dilakukan dengan fair dan adil.


Jumat, 18 Januari 2013

PENERAPAN ETIKA BISNIS DALAM LINGKUNGAN GLOBAL



Etika dalam Bisnis Internasional
Kita sekarang hidup dalam era globalisasi ekonomi, dimana kegiatan ekonomi telah mencakup ke setiap bagian di dunia, sehingga hampir semua Negara tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar ekonomis. Hal ini menimbulkan konsekuensi jika dipandang dari sudut moral, baik menimbulkan akibat positif maupun negative. Di satu pihak, globalisasi dapat meningkatkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara bangsa-bangsa dan dengan demikian melanjutkan tradisi perdagangan sejak dulu. Namun, segi negatifnya adalah globalisasi bisa saja berakhir dalam suasana konfrontasi dan permusuhan, karena mengakibatkan pertentangan ekonomi dan perang dagang, melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang dipertaruhkan disitu.
Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional
K Bertenz berpendapat bahwa pandangan yang menganggap norma –norma moral relative saja tidak bisa dipertahankan, namun norma-norma moral yang bersifat absolute juga tidak bisa diterapkan dengan mutlak. Lalu, apa yang harus dilakukan apabila di bidang bisnis norma-norma moral di Negara lain berbeda dengan norma-norma yang kita anut. Richard De George memberikan tiga jawaban untuk pertanyaan tersebut. Jawaban tersebut adalah :
1.    Menyesuaikan diri.
Dalam lingkup bisnis internasional, kita harus menyesuaiakan diri begitu saja dengan norma-norma etis yang berlaku di Negara lain dimana kita mempraktekkan bisnis. Pandangan dalam bidang moral, dipandang mengandung relativisme ekstrem. Jadi, menurut pandangan ini, norma-norma moral yang penting sebenarnya diberlakukan sama di seluruh dunia, norma-norma non-morallah yang bisa berbeda di berbagai tempat.
2.    Rigorisme Moral
Pandangan ini menekankan bahwa kita harus berpegang pada norma-norma etis yang berlaku di Negara kita sendiri, tidak peduli apakah norma tersebut berbeda dengan di Negara lain. Kebenaran yang dapat temukan dari pandangan ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita.
3.    Imoralisme Naif
Menurut pandangan Imoralisme naïf, Bisnis di Negara lain tidak perlu berpegangan pada norma-norma etis karena hal itu akan merugikan posisi kita dalam kompetisi dengan pihak bisnis lain. Karena apabila perusahaan terlalu memperhatikan etika, kita berada pada posisi yang merugikan, karena daya saing perusahaan akan terganggu.
Kasus  Bisnis dengan Afrika Selatan yang rasistis
Menurut K Bertenz, tiga jawaban yang diberikan oleh George harus ditolak karena tidak mungkin bisa bertahan. Jawaban “imoralisme naif’ harus kita tolak begitu saja. Sedangkan untuk “menyesuaikan diri” kita harus menghrgai  perhatian George untuk peranan institusi. Sedangkan untuk “rigorisme moral” dianggap Bertenz terlalu ekstrem dalam menolak pengaruh situasi, namun ada sedikit kebenaran yang tertuang, yaitu bahwa seharusnya kita tidak meninggalkan norma-norma moral di rumah apabila berangkat bisnis ke luar negeri.
Dalam etika, prinsip moral hampir tidak bisa diterapkan secara mutlak, karena situasi konkret seringkali sangat kompleks. Seringkali yang dilakukan adalah dengan cara mencari jalan tengah dari beberapa solusi ekstrem. Salah satu contoh adalah bisnis internasional dengan Afrika Selaran sampai Negara itu meninggalkan politiknya yang rasistis. Disini kita mencari jalan tengah dari dua pilihan ekstrim “menyesuaikan diri “ dengan “rigorisme moral”.
Afrika selatan mempunyai system politik yang didasarkan atas diskrimasi ras (apartheid) kulit hitam dengan kulit putih. Sistem politik ini didasarkan pada Undang-Undang Afrika Selatan sejak tahun 1948. Saat itu, banyak perusahaan yang menghadapi dilemma antara menhentikan hubungan bisnis dengan Afrika Selatan atau menyesuaikan diri dalam suatu keadaan yang tidak etis (diskriminasi ras).
Dalam mencari jalan keluar dari masalah ini, banyak perusahaan Barat brpegang pada prinsip-prinsip Sulivan, dimana perusahan-perusahaan tidak akan menerapkan undang-undang apartheid, karena dinijlai tidak adil, dan juga perusahaan akan berusaha agar undang-undang apartheid dihapus.
Masalah “Dumping” dalam Bisnis Internasional
Dumping adalah menjual produk dalam kuantitas besar di suatu Negara lain dengan harga di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Motif dibalik terjadinya transaksi dumping sangat banyak, antara lain adalah sebagai berikut :
·         Penjual mempunyai persediaan terlalu besar sehingga memutuskan untuk menjual produk yang bersangkutan di bawah harga saja
·         Produsen berusaha merebut monopoli dengan membanting harga
Dumping dianggap tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Kelompok bisnis yang ingin terjun ke dalam bisnis internasional, dengan sendirinya melibatkan diri untuk menghormati keutuhan system pasar bebas. Dumping sangat sulit untuk ditentukan dalam bisnis internasinal karena banyak alas an. Yang dibutuhkan tidak hanya kesadaran etis saja, tetapi juga suatu pengertian jelas yang diterima secara internasional dan suatu prosedur objektif yang menerapkannya. Kita membutuhkan suatu instansi supranasional yang sanggup bertindak dan sekaligus diakui sebagai wasit yang objektif. Namun untuk saat ini, instansi seperti tersebut diatas masih sulit untuk dibentuk. Dalam rangka Organisasi Perdagangan Perdagangan Dunia (WHO) telah dibuat sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai model untuk membuat peraturan hokum di Negara-negara anggotanya.


Aspek-Aspek etis dari Korporasi Multinasional
Korporasi multinasional adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua Negara atau lebih. Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dank arena beroperasi di berbagai tempat yang berbeda dan sebab itu mempunyai mobilitas tinggi, korporasi multinasional menimbulkan masalah-masalah etis sendiri. Hal-hal yang dilakuakn oleh Negara berkembang untuk melindungi diri dari cengkeraman korporasi multinasional antara lain adalah :
·         tidak mengizinkan masuk korporasi multinasional yang bisa merusak atau melemahkan suatu industry dalam negeri.
·         mengizinkan korporasi multinasinal membuka usaha di wilayahnya, jika dan hanya jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 51%) dimiliki oleh warga Negara setempat. 
Selain itu, terdapat pula usaha internasional yang dibentuk untuk membuat kode etik bagi kegiatan korporasi-korporasi multinasional dunia ketiga seperti “Guidelines for Multinational Enterprises” dari OECD.
Menurut George, ada sepuluh aturan etis yang terpenting bagi korporasi multinasional dalam hubungan bisnisnya dengan Negara berkembang. Aturan-aturan tersebut adalah :
1.      Korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung
2.      Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi Negara dimana mereka beroperasi
3.      Dengan kegiatannya, korporasi multinasional harus member kontribusi kepada pembangunan Negara dimana ia beroperasi
4.      Korporasi multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua karyawannya
5.      Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional harus menghormati kebudayaan local itu dan bekerja sama dengannya, bukan menentangnya
6.      Korporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair
7.      Korporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkan dan menegakkan “background institutions” yang tepat
8.      Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut
9.      Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang beresiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman
10.  Dalam mengalihkan teknologi beresiko tinggi kepada Negara berkembang, korporasi multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi sedemikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam Negara baru yang belum berpengalaman
Peranan Etika Dalam Bisnis
Menurut Richard De George, ada tiga hal yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai kesuksesan, yaitu produk yang berkualitas, manajemen yang mulus, dan etika. Guna memperoleh produk yang baik, si pebisnis dapat memanfaatkan seluruh perangkat ilmu dan teknologi modern. Guna mencapai manajemen yang mulus, si manajemen dapat memakai sepenuhnya ilmu ekonomi dan teori manajemen.  
Kode Etik Perusahaan
Manfaat dan kesulitan aneka macam kode etik perusahaan
Berikut ini adalah manfaat kode etik perusahaan :
·         Kode etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah dijadikan sebagai corporate culture.
·         Kode etik dapat membantu dalam menghilangkan grey area atau kawasan kelabu di bidang etika.
·         Kode etik dapat menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab sosialnya.
·         Kode etik menyediakan bagi perusahan—dan dunia bisnis pada umumnya—kemungkinan untuk mengatur dirinya sendiri sehingga Negara tidak perlu campur tangan, kecuali dalam hal dunia bisnis tidak berhasil mengatur dirinya sendiri dan menciptakan kerangka moral untuk perilaku yang benar.

Berikut ini adalah kritik yang ditujukan kepada kode etik perusahaan :
·         Kode etik perusahaan seringkali merupakan formalitas belaka untuk membuat pihak luar kagum dengan perusahaan.
·         Banyak kode etik perusahaan dirumuskan dengan terlalu umum, sehingga tidak menunjukkan jalan keluar bagi masalah konkret yang dihadapi oleh perusahaan.
·         jarang sekali tersedia enforcement untuk kode etik perusahaan (jarang ada sanksi untuk pelanggaran kode etik)
Berikut ini adalah factor-faktor yang perlu diperhatikan untuk menjamin kefektifan kode etik :
·         Kode etik sebaiknya dirumuskan berdasarkan masukan dari semua karyawan, sehingga mencerminkan kesepakatan semua pihak yang terikat olehnya.
·         Harus dipertimbangkan dengan teliti bidang-bidang apa dan topic-topik mana yang sebaiknya tercakup oleh kode etik perusahaan.
·         Kode etik perusahaan sewaktu-waktu harus direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan intern maupun ekstern.
·         Kode etik perusahaan harus ditegakkan secara konsekuen dengan menerapkan sanksi, yang harus dilakukan dengan fair dan adil.